Gelar Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yang disematkan pada Labuan Bajo sukses mendongkrak popularitasnya ke panggung dunia. Namun, di balik fasad kemewahan dan promosi gencar, kota di ujung barat Flores ini rupanya masih bergulat dengan sejumlah masalah infrastruktur mendasar yang mendesak.
Tiga sorotan terbaru dari lini udara, darat, dan laut menunjukkan bahwa pekerjaan rumah Labuan Bajo masih menumpuk, mengancam kenyamanan dan citra yang susah payah dibangun.
Pintu Masuk yang Mulai “Sesak”

Persoalan pertama langsung terasa di gerbang masuk utama wisatawan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dalam kunjungannya baru-baru ini menyoroti kondisi Bandara Komodo.
AHY menyebut bandara tersebut sudah “terasa sesak” dan tidak lagi ideal untuk menampung lonjakan wisatawan yang diharapkan dari status DPSP. Sebagai etalase pertama yang dilihat pengunjung, kondisi bandara yang padat ini tentu menjadi catatan penting. AHY menekankan perlunya pengembangan lebih lanjut agar kapasitas bandara bisa sejalan dengan ambisi besar pariwisata nasional.
Kesesakan di pintu masuk ini menjadi ironi ketika pemerintah pusat terus mendorong peningkatan kunjungan. Ini adalah sinyal jelas bahwa infrastruktur vital belum sepenuhnya siap untuk “lompatan besar” yang direncanakan.
Ironi di Laut: Destinasi Bahari Tercemar Limbah

Masalah kedua, dan mungkin yang paling ironis, justru datang dari jantung pariwisata Labuan Bajo: lautnya. Keindahan bawah laut adalah magnet utama yang menarik penyelam dan wisatawan dari seluruh dunia. Namun, aset berharga ini kini terancam.
Laporan terbaru mengungkap adanya pencemaran limbah di perairan sekitar kawasan docking (perbaikan) kapal wisata di Pelabuhan Labuan Bajo. Diduga kuat, limbah berupa solar atau oli tumpah ke laut akibat aktivitas pemeliharaan kapal.
Temuan ini menjadi tamparan keras. Aktivitas pendukung pariwisata yang seharusnya menopang industri, justru berpotensi merusak daya jual utamanya. Jika tidak ditangani serius, pencemaran ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mencoreng citra Labuan Bajo sebagai destinasi bahari premium yang bersih dan terjaga.
Penyakit Klasik di Darat: Drainase dan Ancaman Genangan

Melengkapi masalah di udara dan laut, infrastruktur di daratan pun masih rapuh. Menghadapi musim penghujan, Labuan Bajo masih dihantui “penyakit klasik” perkotaan, yaitu sistem drainase yang buruk.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat harus proaktif turun tangan membersihkan saluran air primer dan sekunder di berbagai titik rawan. Langkah ini diambil bukan tanpa alasan. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi agar air hujan tidak meluap dan menggenangi badan jalan utama.
Fakta bahwa BPBD harus rutin melakukan pembersihan menunjukkan adanya kerawanan infrastruktur dasar. Genangan air di jalan-jalan utama tentu akan sangat mengganggu mobilitas wisatawan dan aktivitas warga, memberikan kesan semrawut yang jauh dari standar destinasi super prioritas.
Ketiga potret masalah ini. mulai dari bandara yang sempit, laut yang tercemar limbah industri pariwisata, hingga drainase kota yang rawan. menjadi alarm keras. Status “super prioritas” menuntut kesiapan total di semua lini, bukan hanya polesan di permukaan. Tanpa pembenahan fundamental, Labuan Bajo akan kesulitan menyeimbangkan antara promosi dan realitas di lapangan.





