Industri pariwisata Jepang kini berada di ujung tanduk setelah pemerintah Tiongkok mengeluarkan peringatan perjalanan terbaru yang mendesak warganya untuk menahan diri berkunjung ke Negeri Sakura. Langkah drastis ini bukan sekadar imbauan keselamatan biasa, melainkan puncak dari ketegangan diplomatik yang memanas antara kedua raksasa Asia tersebut. Situasi ini memicu kekhawatiran serius di Tokyo, mengingat ketergantungan ekonomi mereka yang cukup besar terhadap arus wisatawan mancanegara, khususnya dari Tiongkok.
Berdasarkan laporan terbaru yang dirilis pada pertengahan November 2025, eskalasi ini dipicu oleh serangkaian pernyataan kontroversial dari Perdana Menteri Jepang mengenai status Taiwan. Komentar yang menyiratkan bahwa serangan militer terhadap Taiwan akan dianggap sebagai ancaman langsung bagi keamanan Jepang telah memancing kemarahan besar di Beijing. Bagi Tiongkok, Taiwan adalah bagian dari kedaulatan teritorial mereka yang tidak dapat ditawar, dan campur tangan asing dianggap sebagai provokasi serius.
Namun, investigasi lebih dalam menunjukkan bahwa gesekan ini tidak berdiri sendiri. Selain isu geopolitik, Beijing juga menyoroti alasan keselamatan sebagai dasar peringatan perjalanan tersebut. Terdapat laporan mengenai insiden penyerangan terhadap warga negara Tiongkok di Jepang baru-baru ini yang dijadikan landasan kuat bagi Beijing untuk memperketat narasi mereka. Dampaknya langsung terasa di lapangan, di mana sejumlah maskapai penerbangan Tiongkok mulai menawarkan pengembalian dana tiket penuh tanpa denda bagi penumpang yang membatalkan perjalanan ke Jepang. Ini adalah sinyal jelas adanya pergeseran drastis dalam pola perjalanan yang bisa memukul sektor ritel dan perhotelan Jepang.
Pemerintah Jepang tidak tinggal diam menghadapi manuver ini. Tokyo segera melayangkan protes resmi dan mendesak Tiongkok untuk meninjau kembali kebijakan tersebut serta mengambil langkah yang lebih proporsional. Pihak Jepang menekankan pentingnya dialog terbuka meskipun terdapat perbedaan pandangan politik yang tajam. Ketegangan ini memperlihatkan betapa rapuhnya hubungan bilateral kedua negara yang selama puluhan tahun memang kerap diwarnai sengketa wilayah, terutama di Laut Tiongkok Timur.
Dampak ekonomi dari kebijakan ini diprediksi akan sangat signifikan. Wisatawan Tiongkok dikenal memiliki daya beli tinggi yang selama ini menjadi penopang utama pemulihan ekonomi Jepang pasca-pandemi. Hilangnya segmen pasar ini memaksa Jepang untuk segera memutar otak dan melakukan diversifikasi target pasar pariwisata mereka ke negara-negara Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika Serikat. Ketergantungan pada satu pasar besar terbukti menjadi celah kerentanan yang fatal ketika pariwisata dijadikan alat penekan dalam diplomasi internasional.
Seiring dengan semakin dekatnya Jepang pada aliansi pertahanan dengan Amerika Serikat, posisi Tokyo dalam isu Taiwan menjadi semakin tegas, yang secara otomatis memperkeruh hubungan dengan Beijing. Masa depan industri pariwisata di kawasan ini kini diselimuti ketidakpastian. Apakah ini hanya gertakan diplomatik sementara atau awal dari pembekuan hubungan jangka panjang, semua bergantung pada bagaimana kedua negara mengelola ego politik mereka di tengah pertaruhan ekonomi yang begitu besar.
